Review Buku Kembang Kertas; Ijinkan Aku Jadi Lesbian karya Eni Martini
Mengangkat tema lesbian (atau baca juga: homoseksualitas) sebagai sebuah karya Sastra bukan lagi sesuatu yang sulit dijumpai. Karenanya kehadiran buku-buku bertema lesbian dan homoseksual patutlah dihargai sebagai ekspresi demokratik yang lama ditindas selama Orde Baru berkuasa. Buku berjudul Kembang Kertas; ijinkan aku jadi lesbian karya Eni Martini adalah salah satu bentuk maraknya wacana seks sesama jenis.
Novel berjudul Kembang Kertas-Ijinkan Aku Menjadi Lesbian- karya Eni Martini. Kembang Kertas bercerita seorang perempuan keturunan Ningrat Yogyakarta, cantik, berpendidikan tinggi, lulusan Amerika Serikat, namun orientasi seksualnya adalah lesbian. Perempuan cantik yang lesbi ini bernama Kartini, dan juga lebih suka dipanggil Kartini saja dari pada panggilan keningratan, setidaknya mengingatkan kita pada tokoh Kartini, putri yang memberontak dari Jepara itu. Hanya sayangnya, di tengah gerakan yang meluas untuk demokratisasi di segala bidang, termasuk penghargaan terhadap hak-hak demokratik kaum LGBT itu, Eni Martini terasa tak sanggup mengikutinya. Justru yang tampil adalah Kartini yang berjiwa naif, kekanak-kanakan, mencoba menerima nasib walau menderita dengan alasan karena lahir sebagai putri ningrat yang harus berusaha tunduk pada unggah-ungguh- adat-istiadat- dan menjaga kewibawaan Orang Tua.
Di Amerika, tempat Kartini bebas hidup sebagai lesbian bersama kekasihnya Juliet, justru hanya menjadi seakan mimpi yang tak akan mungkin dapat diraihnya di sini dan sekaligus dapat diperjuangkan di sini. Karenanya Kartini dalam novel Kembang Kertas, Eni Martini justru menjadi perempuan fatalis dan dalam kaca mata terpelajar menjengkelkan: childish. Ia yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman sebagai lesbian di Amerika Serikat, justru tak sanggup mengekspresikan dirinya dengan lebih terbuka atau setidaknya membangunkan gerakannya seperti yang sudah kelihatan tumbuh.
Militansinya tentu tak seperti Kartini yang bisa mengatakan Habis Gelap Terbitlah Terang…seperti juga digambarkan dengan baik dalam film Kartini, sutradara Sjumandjaja tahun 1982; atau sungguh menolak ornament kebangsawanannya: Panggil Aku Kartini Saja seperti yang telah banyak diulas Pramoedya Ananta Toer. Kartini, Eni Martini, justru kabur dari kondisi obyektif yang membelenggunya, meninggalkannya tanpa perlawanan dan kembali ke Amerika Serikat yang dirasa lebih terbuka dan bebas menerima orang-orang seperti dirinya.
Keberaniannya hanya ditunjukkan dengan pengakuan yang jujur bahwa dirinya sebagai lesbian yang tak suka tiyang jaler (lelaki) di hadapan Orang tuanya. Dan setidaknya juga pembelaan terhadap Nadia, teman sekerjanya, yang dulunya sering mendapat penghinaan karena lesbi, berkat pembelaannya yang singkat bahwa Lesbian juga manusia, akhirnya dapat menyadarkan banyak teman kerja untuk menerima Nadia apa adanya. Subjudul novel ini sendiri sebenarnya sudah menunjukkan kelemahan posisi: Ijinkan Aku Menjadi Lesbian…? Mengapa harus minta ijin? dan siapa yang berhak dan harus mengijinkan? Bila pilihan demokratiknya seperti itu..?
Novel Kembang Kertas tak terlalu sulit untuk dibaca dan dicerna. Alurnya sederhana dengan bahasa dan kata-kata sederhana sehingga dapat dibaca dengan cepat. Kelemahannya yang mencolok adalah pada buruknya pengeditan. Masih banyak kata-kata yang ditulis dengan huruf yang salah. Di samping itu, penggunaan subyek dan predikatnya dalam kalimat kadang mengganggu dan tidak mengenakkan selera membaca.
Pada alinea pertama, halaman 1, pembaca dapat melihat kalimat yang berantakan tak tersusun dengan baik. Misalnya: “Sudah lama Kartini tidak berbaur dengan keluarga, famili dan teman-temannya dalam suasana pesta adat Jawa yang penuh ungah-ungguh, tata krama.” (seharusnya Unggah). Kalimatnya selanjutnya begitu jelek seperti tak mengenal hukum subyek dan predikat dengan baik: “Maka saat Si’Bu mengadakan pesta kecil-kecilan, atau lebih sering disebut selamatan oleh masyarakat Jawa. Pesta dalam rangka menyambut kedatangannya dari Boston, serta syukuran atas selesainya studi dia. Kartini cukup antusias menyambutnya, karena selain akan bertemu dengan orang-orang yang dicintai. Ada pesta, pasti ada kue tradisional aneka ragam. Serabi, nogosari, cenil, lemper, klepon, dan kue-kue jajan pasar lainnya.”
Eni Martini, lahir di Jakarta tahun 1977, novel-novel sebelumnya yang telah diterbitkan antara lain: Sehelai Daun Kapuk Randu (2003), Relasi Kata Tanpa Rupa (2005), Miss Diena The Series (2006) dan Benang Tiga Perempuan (2007). Di atas kelemahan tata bahasa dan salah-salah huruf, Novel ini setidaknya memberikan fakta adanya kehidupan lesbian yang masih tertindas secara, sosial, kultural dan politik. Karenanya buku ini juga layak untuk diketahui dan dibaca sebagai sikap moral sehingga bisa menemukan jalan keluar yang…, meminjam kata-kata seruan perlawanan Nyai Ontosoroh, Pramoedya Ananta Toer, … Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Novel Kembang Kertas tak terlalu sulit untuk dibaca dan dicerna. Alurnya sederhana dengan bahasa dan kata-kata sederhana sehingga dapat dibaca dengan cepat. Kelemahannya yang mencolok adalah pada buruknya pengeditan. Masih banyak kata-kata yang ditulis dengan huruf yang salah. Di samping itu, penggunaan subyek dan predikatnya dalam kalimat kadang mengganggu dan tidak mengenakkan selera membaca.
Pada alinea pertama, halaman 1, pembaca dapat melihat kalimat yang berantakan tak tersusun dengan baik. Misalnya: “Sudah lama Kartini tidak berbaur dengan keluarga, famili dan teman-temannya dalam suasana pesta adat Jawa yang penuh ungah-ungguh, tata krama.” (seharusnya Unggah). Kalimatnya selanjutnya begitu jelek seperti tak mengenal hukum subyek dan predikat dengan baik: “Maka saat Si’Bu mengadakan pesta kecil-kecilan, atau lebih sering disebut selamatan oleh masyarakat Jawa. Pesta dalam rangka menyambut kedatangannya dari Boston, serta syukuran atas selesainya studi dia. Kartini cukup antusias menyambutnya, karena selain akan bertemu dengan orang-orang yang dicintai. Ada pesta, pasti ada kue tradisional aneka ragam. Serabi, nogosari, cenil, lemper, klepon, dan kue-kue jajan pasar lainnya.”
Eni Martini, lahir di Jakarta tahun 1977, novel-novel sebelumnya yang telah diterbitkan antara lain: Sehelai Daun Kapuk Randu (2003), Relasi Kata Tanpa Rupa (2005), Miss Diena The Series (2006) dan Benang Tiga Perempuan (2007). Di atas kelemahan tata bahasa dan salah-salah huruf, Novel ini setidaknya memberikan fakta adanya kehidupan lesbian yang masih tertindas secara, sosial, kultural dan politik. Karenanya buku ini juga layak untuk diketahui dan dibaca sebagai sikap moral sehingga bisa menemukan jalan keluar yang…, meminjam kata-kata seruan perlawanan Nyai Ontosoroh, Pramoedya Ananta Toer, … Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Untuk memiliki buku Eni Martini ini secara gratis, silahkan Download Disini
Review ini disunting dari resensi buku dengan judul resensi Fatalisme “Kartini” Kembang Kertas oleh AJ Susmana.
0 comments:
Post a Comment